Skip to main content
Dr. Ichsan Malik
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (UI)
 
1 Maret 2014
[Forum di Wawasan Patani 2020]

 

1.    Wujud Damai

Membangun perdamaian pada hakikatnya adalah merekatkan kembali segala hal yang sudah hancur berkeping-keping ketika terjadi konflik berdarah. Keterbelahan masyarakat harus diintegrasikan kembali. Luka-luka psikologis harus dipulihkan kembali. Seluruh bangunan yang sudah hancur, dibangun kembali. Waktu dan kesempatan yang hilang pada generasi muda  akibat ketegangan konflik harus dibayar kembali secara tuntas.Kedamaian adalah suatu proses sekaligus suatu tujuan yang ingin dicapai. Sebagai suatu proses perdamaian membutuhkan proses yang terus menerus dan berkelanjutan, sedangkan sebagai tujuan perdamaian adalah arah masa depan yang harus ditempuh oleh semua pihak yang berkonflik.

Secara Psikologis perdamaian itu harus dimulai dari dalam diri sebagai personal (peace within), baru kita kembangkan damai antar kelompok baik yang bertikai langsung maupun yang kena dampak konflik (peace between). Dan pada akhirnya kita berbicara damai secara keseluruhan sebagai suatu bangsa (peace amongs). Prosesnya harus terus berkelanjutan baik secara personal maupun sebagai bangsa.

Afrika Selatan berhasil mencapai kedamaian seluruh masyarakatnya disebabkan oleh kegiatan terobosan yang dilakukan dan kemauan politik yang kuat dari pemimpinnya. Aceh Indonesia mencapai kedamaian berkat keinginan yang kuat dari para pemimpin serta kesuksesan dari diplomasi perdamaian. Sedangkan Maluku Indonesia mencapai kedamaian melalui suatu proses gerakan dari masyarakat bawah yang sudah jenuh dengan kekerasan dan menginginkan perdamaian.

Kedamaian di Patani yang saya bayangkan adalah kedamaian yang dibawa oleh para pemimpinnya  yang sudah ingin seluruh wilayah Thailand  Selatan menjadi damai, makmur dan berkeadilan tidak ada diskriminasi, seperti saudara lainnya di Bangkok, dan Thailand Utara. Dilakukan serangkaian kegiatan diplomasi pihak ketiga yang netral dan berkesungguhan untuk menemukan solusi yang dapat diterima oleh semua pihak serta terjaminnya perdamaian dalam jangka panjang. Inisiatif perdamaian harus ditopang oleh gerakan perdamaian dari masyarakat bawah yang sebenarnya merupakan korban terbesar dari seluruh konflik yang terjadi. Untuk terwujudnya reintegrasi seluruh pihak yang berkonflik dan terciptanya stabilitas perdamaian, maka dibutuhkan rekonsiliasi.

  

2.    Rekonsiliasi dengan Sejarah Masa Lalu

Membangun perdamaian pada dasarnya adalah bagaimana kita belajar dari semua peristiwa konflik yang terjadi pada masa lalu, kemudian dari pelajaran yang kita dapatkan dicoba direkonstruksi suatu  perencanaan masa depan. Bisa saja sejarah masa lalu yang pahit ketika konflik itu kita lupakan begitu saja, tidak dicoba untuk diungkap kebenarannya, apa sumber penyakit masa lalu yang menyebabkan konflik ini berkepanjangan ?, namun akibat logisnya dia ibarat penyakit tidak diketahui maka dia bisa menjadi penyakit yang lebih besar pada masa depan.

Menarik pengalaman Afrika Selatan ketika mereka mencoba berdamai dengan sejarah masa lalunya. Sebagai suatu bangsa yang sudah dilanda konflik kekerasan selama 40 tahun akibat diberlakukannya sistem Apartheid yang mendiskriminasikan warga kulit hitam, maka wajar seluruh masyarakat ingin menegakkan keadilan, berlakunya sistim demokrasi yang memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara, serta dapat lepas landas menjadi negara yang makmur dan dapat mensejahterakan seluruh masyarakatnya. Ada 4 empat skenario atau jalan yang dapat mereka tempuh terkait dengan derita konflik masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Skenario pertama yang disebut sebagai skenario “burung Onta” (Ostrich scenario), burung onta adalah sejenis  burung yang apabila melihat bahaya maka dibenamkan kepalanya ke tanah atau kesemak-semak. Analoginya masyarakat model burung onta adalah masyarakat yang terbenam dan terpenjara pada masa lalu dan tidak bisa melihat masa depan. Jadi yang penting balas dendam atas penderitaan konflik yang terjadi pada masa lalu, tidak diperdulikan bagaimana kembali membangun masa depan masyarakat serta  menata pemerintahan secara demokratis.  Skenario kedua adalah skenario “bebek patah sayap” (lame duck scenario), bebek yang patah sayap dia hanya bisa berputar-putar pada masa kini. Analoginya masyarakat  hanya berputar-putar pada masa kini, sehingga dia tidak belajar dari masa lalu yang gelap karena konflik, dan masyarakat tidak mampu merumuskan masyarakat yang sejahtera pada masa mendatang. Skenario ketiga adalah skenario Icarus (Icarus scenario), Icarus dalam mitologi Yunani adalah seorang yang ambisius ingin terbang  ke matahari, sampai disana akhirnya hancur terbakar. Analoginya ingin cepat-cepat meraih masa depan langsung lepas landas, tidak belajar dari masa lalu, dan menghitung keadaan saat ini. Skenario keempat adalah skenario terbang burung flamingo (the flight of the flamingo), burung flamingo Afrika adalah burung yang lepas landas bersama-sama, terbangnya tinggi, membentuk formasi V, ketika yang didepan lelah maka mundur kebelakang, yang ditengah maju kemuka, maka selama 6 bulan mereka dapat mengarungi samudra dari Afrika menuju Amerika. Afrika selatan mengambil skenario burung flamingo, mereka melakukan rekonsiliasi untuk dapat membangun kebersamaan sebagai satu bangsa Afrika Selatan, bukan hitam atau putih, mereka coba bongkar kebenaran sejarah masa lalu melalui kegiatan Komisi Kebenarandan Rekonsiliasi. Kemudian mereka tata pemerintahan baru yang dinamis untuk menata masa depan masyarakat yang adil dan makmur.

Maluku Indonesia juga dihantui oleh sejarah masa lalu yang kelam dalam hubungan masyarakat islam dan kristen Maluku. Pada masa penjajahan Belanda masyarakat kristen mendapat previlage karena ber-agama sama dengan Belanda, mereka bekerja dengan Belanda, mendapat pendidikan, serta permukiman juga dipisahkan antara orang kristen dan orang islam. Sedangkan orang islam dipinggirkan dan dianggap pemberontak. Ketika merdeka dan terutama pada akhir masa Orde Baru, Islam Maluku Bangkit menduduki posisi pemerintahan, dan menguasai perekonomian. Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, dan krisis politik pada masa reformasi kejatuhan Suharto, pecah konflik berdarah antara orang islam dan orang kristen Maluku pada tahun 1999. Masyarakat Maluku terbelah total saling membunuh, 5000 orang mati terbunuh selama 3 tahun konflik 80 % infrastruktur hancur dan 700 ribu orang menjadi pengungsi. Ketika proses perdamaian dimulai maka langkah awal adalah berupaya meluruskan kembali seluruh sejarah masa lalu hubungan antara islam dan kristen Maluku yang penuh dengan distorsi, stigma, stereotip dan prasangka.

Masyarakat Thailand Selatan juga terus dibayangi oleh masa lalu yang penuh konflik. Berawal dari krisis Pak Nam ketika Inggris membagi wilayah Patani, Yala, Narathiyat, dan Satun menjadi bagian dari wilayah Thailand pada abad ke 19. Perubahan Monarki Absolut menjadi Monarki parlementer pada tahun 1930 yang diikuti oleh ketentuan bahasa melayu harus diganti dengan bahasa Thailand. Berdirinya BRN pada tahun 1960. PULO juga berdiri pada tahun 1968. Operasi daun gugur pada tahun 1997. Berdirinya Badan tonomi Khusus Thailand Selatan. Penghapusan Badan tonomi yang memicu konflik kekerasan. Penyerbuan Mesjid Krue Se pada tahun 2004, yang memicu Gerakan Perjuangan dengan bendera islam seperti GMIP dan BIPP pada tahun 2005 maka kekerasan menjadi masif diseluruh Thailand Selatan. HIngga tahun 2012 kekerasan terus meningkat diseluruh wilayah. Seluruh kenangan masa lalu ini harus ditemukan kebenarannya, dan dijadikan pelajaran untuk menata masa depan.  

     

3.    Integrasi Identitas

Keretakkan masyarakat Islam dan Budha di seluruh Thailand Selatan akibat dari konflik masa lalu harus di semen kembali sehingga dapat menjadi masyarakat yang terintegasi, bersatu dan memiliki perasaan kebersamaan sebagai satu bangsa.  Proses rekonsiliasi pada hakikatnya mengintegrasikan kembali masyarakat. Berdasarkan pengalaman hal inilah yang kemudian dilakukan untuk menghentikan seluruh konflik Maluku dan diharapkan juga dapat dilaksanakan di Thailand Selatan.

Maluku yang terbelah total dengan identitas agamanya. Berbagai upaya rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintahan Indonesia lebih banyak gagalnya karena lebih menekankan kepada pembangunan ekonomi, pendekatan politik, pendekatan militer, dan penegakkan hukum. Keempat hal itu sangat penting dan harus dilakukan, namun yang paling penting pertama yang harus dilakukan di Maluku, adalah merekatkan kembali masyarakat Maluku yang telah tercabik-cabik dan tersegregasi total.

Ichsan Malik (2012) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa rekonsiliasi yang dilakukan oleh masyarakat bawah melalui Gerakan Baku Bae Maluku sejak tahun 2000 -2003, telah memberikan kontribusi yang signifikan untuk terintegrasinya sebahagian dari kelompok masyarakat Maluku yang aktif berkonflik. Ada 6 unsur utama dari integrasi atau dalam penelitian disebut sebagai “kekitaan”, yaitu ingatan bersama, harapan, trust, empati, identitas bersama, dan peran fasilitator. Dari enam komponen itu maka terbentuklah tiga bentuk integrasi (kekitaan) yaitu kekitaan palsu, kekitaan semu, dan kekitaan sejati.

Kekitaan palsu terjadi ketika kebersamaan masa lalu hanya nostalgia, harapan kedepan terperangkap kepada masa lalu, trust dan empati negatif, identitas bersamanya abu-abu. Kekitaan semu terjadi terutama karena faktor penentu trust dan empati posisinya antara ada dan tiada, padahal mereka semua adalah sama-sama korban konflik. Untungnya masih ada modalitas sejarah dan ingatan bersama sebagai orang Maluku, serta masih memiliki harapan yang besar tentang masa depan Maluku. Kekitaan (integrasi sejati terwujud sepenuhnya ketika Sejarah dan ingatan masa lalu disadari sepenuhnya oleh seluruh korban, harapan masa depan yang lebih baik, trust dan empati yang kuat dalam bentuk merasa senasib sepenanggungan, serta identitas bersama sebagai “torang basudara”. Gerakan Baku Bae Maluku telah mendorong terwujudnya kekitaan yang sejati.

 

4.    Gejala Competitive Victimhood

Gejala “competitive Victimhood” saya ambil dari area studi Psikologi Perdamaian. Pengertiannya adalah adanya saling klaim yang subjektif antara kedua kelompok korban, yang menyatakan bahwa satu kelompok lebih menderita dibandingkan kelompok lainya. Klaim bukan hanya ingin dianggap yang lebih menderita akan tetapi juga ingin dianggap sebagai kelompok yang paling diperlakukan tidak adil oleh kelompok lainnya ( Noor, Brown, and Prentice. 2008). Pada hakikatnya gejala ini hadir dalam proses perdamaian paska konflik di Maluku, dan patut diduga juga ada dalam proses perdamaian di Thailand Selatan.

Gejala “Competitive Victimhood” ini saya uraikan agar dapat diwaspadai dalam proses perdamaian, karena gejala ini akan memberikan kontribusi untuk gagalnya program pemberdayaan dan integrasi dari masyarakat yang telah terbelah akibat konflik. Setiap kelompok baik islam maupun kelompok kristen di Maluku berlomba-lomba untuk merasa bahwa merekalah yang paling dikorbankan pada masa konflik, merekalah korban ketidak adilan.  Dampak  dari gejala ini terlihat dalam bentuk mereka saling berlomba-lomba untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan dalam setiap program pemberdayaan.

Penelitian yang dilakukan oleh (Noor et al 2008), mendapatkan kesimpulan bahwa apabila kompetisi sebagai korban berkurang maka yang muncul adalah mulai timbulnya rasa percaya antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, juga munculnya empati antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Penelitian ini menyatakan bahwa tidak boleh ada kelompok yang merasa paling menderita, semua kelompok harus dianggap memiliki penderitaan yang sama. Hal inilah menurut saya merupakan modal yang paling penting untuk melakukan pembangunan perdamaian.

5.    Membangun Jaringan Kaum Muda

Kaum muda terpelajar dari Thailand Selatan bagi saya merupakan aktor yang paling penting perannya dalam pembangun perdamaian. Kelompok muda dapat menjadi jembatan untuk  merekatkan kembali kaum tua yang terlibat langsung dalam konflik atau terpapar oleh konflik. Kaum muda juga adalah kelompok dinamis yang lebih cepat dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru. Mereka amat potensial untuk melaksanakan kegiatan rekonsiliasi. Ada beberapa kegiatan yang dapat mereka lakukan pada masa mendatang baik di kampus, disekolah, maupun dalam kegiatan bersama ( merujuk kepada catatan dari Bar-Tal dan Bennink dalam Bar-Siman-Tov 2004. Dalam paper Ichsan Malik 2011) :

a)  Menulis Sejarah Bersama-sama, Metode ini melibatkan kedua belah pihak yang , mengumpulkan , menseleksi dan memutuskan bersama semua kejadian penting yang terjadi  pada masa lalu. Kerja ini mensyaratkan untuk mengungkapkan seluruh cerita yang kadangkala tidak ingin diungkapkan oleh salah satu pihak. Semua kejadian harus merujuk kepada fakta, yang disepakati bersama. Narasi dari sejarah yang dibuat bersama akan menjadi basis untuk memori kolektif yang baru, dan cocok dengan rekonsiliasi yang telah diproses.  Contoh untuk metode ini adalah dibentuknya komite sejarah Jerman dan Czech, yang menghasilkan buku sejarah yang disepakati bersama.

b) Pendidikan Perdamaian, metode ini merupakan metode yang paling penting untuk mempromosikan rekonsiliasi. Promosi perdamaian bisa melalui sistem sekolah formal, maupun melalui pendidikan informal. Melalui pendidikan perdamaian, diharapkan memiliki cara pandang baru dalam melihat dunia, yaitu nilai, keyakinan, sikap, dan`pola perilaku yang sejalan dengan proses rekonsiliasi, sehingga dapat mempersiapkan mereka untuk hidup dalam era perdamaian dan rekonsiliasi. Diharapkan melalui pendidikan damai akan terbentuk sikap toleran, sensitifitas terhadap kebutuhan kelompok lain, empati, fikiran kritis, dan keterbukaan.

c)  Mass Media. Mass media merupakan alat yang sangat ampuh untuk mempromosikan rekonsiliasi. Melalui media masyarakat mendapatkan gambaran perkembangan dari proses rekonsiliasi. Melalui media pesan-pesan perdamaian disosialisasikan. Johan Galtung ( Webel, C; Galtung, J. 2007 ), mengintrodusir jurnalisme damai. Dimana melalui prinsip jurnalisme damai, maka media akan berpihak kepada proses rekonsiliasi, dan bukan justru mengembangkan jurnalisme perang, dengan doktrin ” a bad news, is a good news”.

d)  Publikasi Pertemuan Antara  Kelompok yang Pernah Berkonflik  . Berbagai pertemuan yang terjadi antara kelompok yang berkonflik, yang kadangkala dilakukan secara rahasia, pada dasarnya  menggambarkan dinamika psikologis yang terjadi dalam konflik, serta dapat memberikan gambaran tentang bagaimana suatu keputusan harus diambil dalam suatu situasi yang dilematis. Hal tersebut perlu dipublikasikan secara luas kepada masyarakat agar dapat menjadi pelajaran. Dinamika psikologis yang terjadi menggambarkan bahwa anggota kelompok yang berkonflik itu ternyata manusia juga,  bisa diajak berdialog, memiliki harapan-harapan, bisa dipercaya meski memiliki kebutuhan yang berbeda. Sebagai contoh publikasi yang luas dari  pertemuan, jabatan tangan, dan penandatanganan kesepakatan damai antara  pimpinan Palestina Yaser Arafat dan perdana menteri Benyamin Netanyahu, ternyata memberikan pengaruh yang positif kepada pemahaman baru dari kelompok masyarakat di Israel.

e)  Kerja dari LSM . LSM yang bekerja dalam wilayah konflik, baik dari dalam negeri maupun LSM internasional banyak memberikan kontribusi untuk proses rekonsiliasi. Mereka akan membantu dalam kampanye perdamaian, memberikan bantuan profesional untuk trauma healing, mengembangkan kegiatan ekonomi, dan membangun kerjasama antar komunitas. Kadangkala LSM juga memiliki kontak langsung dengan masyarakat akar rumput, sehingga mereka dapat berperan sebagai fasilitator atau mediator. Pada masyarakat yang terlibat dalam konflik LSM juga dapat bertindak sebagai gerakan perdamaian. Sebagai contoh Peace People Movement, di Irlandia Utara yang diorganisasikan oleh Betty Williams dari protestan, dan Mairead Corrigan dari katolik.

f)  Proyek Bersama. Metode ini merupakan metoda pendukung untuk melakukan perubahan psikologis dalam rekonsiliasi. Proyek bersama pada area yang berbeda yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik elit, profesional maupun masyarakat biasa, akan mendorong terjadinya pertemuan-pertemuan antara kedua kelompok yang sebelumnya berkonflik, akan memperbaiki relasi antar kelompok. Kedua kelompok akan belajar tentang penting relasi yang terjadi dalam situasi perdamaian. Salah satu contoh adalah , proyek kota kembar/town twinning yang dilakukan oleh Prancis dan Jerman selama tahun 1950 - 1962 . Hingga tahun 1989 proyek ini telah berkembang meliputi 1.300 kota, dan melebar menjadi kerjasama antar sekolah dan universitas.

g)  Turisme. Turisme merupakan metoda lain yang cukup penting untuk rekonsiliasi psikologis dalam kasus konflik antar negara, namun bisa juga dicoba untuk konflik dalam Negara. Kunjungan parawisata ke negara bekas rival atau lawan konflik  akan membangun kembali rasa percaya diantara kedua belah pihak. Serta Merupakan kesempatan untuk mempelajari budaya, sejarah, ekonomi bekas rival dalam situasi yang penuh kedamaian.

h)  Cultural Exchanges.   Metode ini efektif dalam rekonsiliasi untuk konflik antar negara, namun patutdicoba dalam konteks konflik dalam Negara. Berbagai variasi dapat dilakukan seperti menterjemahkan buku, kunjungan seniman antar negara, program televisi, pembuatan film bersama. Kegiatan ini akan memberikan kesempatan untuk kedua belah pihak untuk saling belajar tentang bekas rival dalam perspektif yang baru. Contohnya, pertunjukan seni yang dilakukan secara bersama antara seniman India dan Pakistan, ternyata memberikan kontribusi untuk merubah bayangan negatif antar kedua kelompok masyarakat.

 

6.    Penutup

Setiap wilayah konflik pada dasarnya akan dapat bangkit kembali dan kemudian segera berlari untuk menggapai masa depannya yang damai, sejahtera, dan bermartabat. Semua itu akan terwujud apabila didukung oleh adanya seorang pemimpin yang tangguh, berani membuat terobosan, serta berada didepan untuk menghadapi setiap tantangan. Inilah salah satu hambatan terbesar untuk setiap wilayah paska konflik, maka harapan besar kita letakkan pada pundak kaum muda.

  Jangan membebek atau memakai strategi “bebek patah sayap” yang selalu tanggung-tanggung, abu-abu, dan tidak tuntas. Kesejahteraan masyarakat paska konflik selalu terkatung-katung. Demokrasi hanya menciptakan kelompok dominan yang menindas. Keadilan bagi seluruh korban konflik malah nyaris terlupakan. Jikalau kondisi ini yang terjadi tidak pelu heran jikalau para pemimpin paska konflik akan selalu dihujat dan dikutuk oleh masyarakat.

Pada akhirnya harus disadari bersama bahwa kerja membangun perdamaian adalah kerja besar dan berat. Membutuhkan kerjasama, partisipasi, logistik, dan kemauan yang kuat. Tidak boleh ada kelompok-kelompok yang merasa dia paling korban, atau merasa dia paling pahlawan. Tantangan kita semua di wilayah paska konflik adalah masa depan masyarakat, bukan masa lalu yang penuh nostalgia dan mimpi.

 

Daftar Pustaka

Malik, I.  (2012) . Rekonsiliasi Akar Rumput dan Kekitaan. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta

Noor, M; Brown, R; Prentice, G. (2008). Prospect for Intergroup Reconciliation: Social-Psychological Predictors of Intergroup Forgiveness and Reparation in Northern Ireland and Chile. In Nadler et al (eds) (2008). The Social Psychology of Intergroup Reconciliation. New York: Oxford University Press. pp. 97-116.