Skip to main content

1. Optimis vs Pesimis

 

Sejak pertemuan antara Perdana Menteri pemerintah militer Thailand, Prayuth Chan-Ocha dengan rakan sejawatannya dari Malaysia, Najib Razak semasa lawatan resmi Prayuth ke Malaysia pada tanggal 1 Disember yang lalu (2014), perbincangan mengenai proses damai Patani mendapat perhatian semula dari kalayak yang luas. Ada yang berpandangan optimis tentang perkembangan terkin ini, dan ada juga yang cuba berpandangan optimis, tetapi tidak kurang juga yang berpandangan pesimis.

 

Mereka yang berpandangan opitimis melihat lawatan rasmi ini sebagai pertunjukan niat politik (political will) yang paling jelas dalam menjalankan proses damai yang pernah ditunjukkan oleh pemimpin pemerintah tertinggi Thailand. Sebelum ini, isu Patani atau penyelesaian masalah pergolakan di Wilayah Sempadan Selatan Thailand sudah beberapa kali dibincangkan antara kedua pemerintah anggota ASEAN ini. Tetapi kali ini isu tersebut diangkat sebagai isu utama dalam perbincangan pemimpin. Pihak yang berpandangan optimis juga menyatakan bahwa kini semua kuasa pemerintahan berada pada satu pihak sahaja, yaitu pemerintah tentera yang merampas kuasa pemerintah sipil pimpinan Yingluck Shinnawatra. Kondisi politik Thailand sekarang tidak seperti pemerintah-pemerintah sipil yang kewibawaannya sentiasa tergugat dan terancam oleh pihak militer. Kini tentera sendiri yang menjadi pemerintah melalui kudeta.

 

 Walau bagaimanapun, pada pandangan penulis, perkara-perkara yang disebut di atas bukan sesuatu yang menjadikan kita berpandangan optimis, sebaliknya terdapat beberapa perkara yang perlu dipertikaikan.

 

Pertama, sebelum adanya proses damai yang berjaya yang dapat melibatkan kebanyakan pihak yang berkepentingan (stakeholders) di ASEAN yang mempunyai latar belakang yang mirip dengan kondisi di Patani, baik di Aceh mahupun di Mindanao, niat politik pemerintah ditunjukkan kepada pihak ‘pemberontak’, bukan kepada pihak ‘orang tengah’. Dengan demikian, lawatan Prayuth ke Malaysia tidak seharusnya dianggap sebagai pertunjukan niat politik atau keikhlasannya terhadap proses tersebut.

 

Pak Nur Djuli, seorangt perunding senior dari  Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dalam rencana ‘Dunia Hari Ini’ oleh Stesen Radio Media Selatan, sebuah radio komunitas di Patani, pernah menceritakan tentang proses damai di Aceh bahwa sebelum bermulanya rundingan damai,  Jusof Kalla, sebagai Wakil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), berkali-kali cuba menghubungi pucuk pimpinan GAM sehingga dapat meyakinkan pihak GAM bahwa pemerintah SBY memang serius dalam hal rundingan. Benguno Aquino III, selaku Presiden Filipina, pula mengadakan pertemuan sulit dengan pemimpin ‘pemberontak’ Mindanao Islamic Liberation Front (MILF), Murad Ebrahim pada tanggal 4 Ogos 2011 di Tokyo (http://www.abs-cbnnews.com/nation/regions/03/27/14/timeline-moro-history...). Ini merupakan usaha sedemikian yang pertama oleh pihak Pemerintah Filipina. Beliau menyatakan kepada Murad Ebrahim bahwa beliau harus mewarisi usaha orangtuanya yang cuba mengadakan kedamaian di Filipina. Semasa penulis berpeluang ke Mindanao pada tahun 2013, beberapa orang ahli MILF menyatakan bahwa pertemuan ini amat penting dalam membina keyakinan terhadap kesungguhan pihak pemerintah di kalangan ‘pemberontak’.

 

Tidak dapat dinafikan bahwa PM pemerintah militer Thailand juga menyatakan niat politiknya untuk memajukan proses damai di Patani. Tetapi sehingga kini tidak ada sebarang laporan berita tentang kesungguhan pihaknya terhadap satu lagi pihak yang berkepentingan, iaitu pihak ‘Party B’, iaitu ‘mereka yang berideologi serta berpandangan berbeda dari pemerintah’ menurut Persepakatan Umum yang ditandatangani pada 28 Februari 2013 di Kuala Lumpur. Sebaliknya, berikut pertemuan Prayuth-Najib, berpuluh-puluh sepanduk yang digantung di selurh Patani yang mengandungi mesej yang mempertikaikan kesungguhan pihak pemerintah. Meseji ini perlu mendapat perhatian yang serius, karna sepanduk-sepanduk yang digantung secara serentak di beberapa tempat di Patani merupakan usaha ‘perhubungan awam’ oleh pihak ‘pejuang’ atau ‘gerakan pembesan Melayu Patani’.

 

Pada pendapat penulis, pertemuan Prayuth dengan Najib bukan satu petanda yang positif. Sebaliknya, pertemuan antara satu ‘stakeholder’ (pemerintah Thai) dengan orang tengah, tanpa dihadiri oleh satu lagi stakeholder, merupakan satu petanda yang menunjukkan bahwa proses ini sudah tidak bersifat ‘inclusive’ atau tidak melibatkan semua pihak sejak permualaan. Pertemuan bersifat sedemikian pula menyebabkan orang-orang tempatan mula bertanya, “apakah udang di sebalik batu yang didambakan oleh pihak Malaysia?”

 

 Keadaan Thailand sekarang yang diperintah di bawah sebuah pemerintah militer juga bukan satu kelebihan seperti yang disangkakan. Perlu diingatkan bahwa pemerintah ini pemerintah kudeta, yang merampas kuasa dari pemerintah yang lahir dari pemilihan umum (pemilu).  Dengan kata lain, pemerintah ini, walaupun sudah berjaya mengumpulkan semua kuasa pemerintahan di tangannya, dan lebih berkuasa dari pemerintah sipil, keabsahan kuasanya masih perlu dipersoalkan. Keadaan sekarang yang pemerintah kudeta menekan dan menindas semua yang berpandangan berbeda,   dengan menggunakan undang-undang darurat militer (martial law) bukan suatu kestabilan yang sebenar. Ini bererti bukan tidak ada orang yang tidak setuju dengan pemerintah, tetapi berjuta-juta orang yang tidak bersetuju dengan pemerintah kudeta ini tidak dapat berusara sahaja, karna orang yang berani berbuat demikian akan menghadapi risiko yang terlalu besar, termasuk juga penangkapan, penahanan dan pemenjaraan.

 

2. Pendamaian vs Perdamaian

 

Sebelum pertemuan yang ‘bersejarah’ antara Prayuth dengan Najib, pihak pemerintah militer Thai juga berkali-kali menyebut bahwa pihaknya bisa mengakhiri konflik di Patani dalam masa setahun sahaja. Ungkapan sedemikian tidak akan lahir daripada mulut seseorang yang memahami sifat penyelesaian konflik yang sebenar.

 

Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengadakan kedamaian yang hakiki atau yang sebenar, berdasarkan kebebasan dan keadilan yang sejati, bukan untuk memaksa kedamaian yang palsu. Walaupun kedaiaman sementara bisa diwujudkan dalam bentuk gencatan senjata, tetapi struktur yang menyebabkan berlakunya konflik masih tetap dikekalkan, dan struktur ketidakadilan ini akan dapat mencetuskan konflik yang baru pada bila-bila masa.

 

Untuk mengadakan kedamaian yang hakiki, ada dua cara. Yang pertama ialah pendamaian atau usaha mendamaikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa, Edisi Keempat, ‘mendamaikan’ bermaksud ‘mengusahakan agar kedua pihak berbaik kembali. Usaha pendamaian merupakan usaha yang dilakukan oleh orang tengah.  Misalnya, seorang imam di sebuah desa, dengan bergantung pada wibawanya sebagai pemimpin masyarakat dan pembimbing agama, dapat mendamaikan konflik dalam sebuah rumah tangga. Seorang guru juga dapat mendamaikan perselisihan antara muridnya. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa pihak yang ‘mendamaikan’ perlu ada kewibawaan yang diperakui oleh pihak lain yang terlibat secara langsung dalam konflik, di samping pihak-pihak lain yang bersangkutan dengan konflik berkenaan.

 

Walau bagaimanapun, jika kita menjadi pihak yang terlibat secara langsung dalam sesebuah konflik, kita tidak bisa ‘mendamaikan’ konflik karna kita sudah menjadi stakeholder.  Sebaliknya, untuk menyelesaikan konflik yang melibatkan kita secara langsung, kita perlu ‘berdamai’ dengan satu (atau lebih) pihak yang berkonflik dengan kita. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia bersedia ‘berdamai’ dengan GAM, dan Pemerintah Filipina pula ‘berdamai’ dengan MILF, bukan kedua-dua pemerintah ‘mendamaikan’ konflik dengan menggunakan kekuasaan. Usaha ini dipanggil ‘perdamaian’.

 

Persoalan yang perlu ditanyakan kepada kedua-dua pihak yang mengadakan pertemuan pada tanggal 1 Disember di Malaysia ialah: adakah kalian bersedia untuk berdamai dengan ‘pejuang’ Patani, atau adakah kalian sedang bermimpi bahawa konflik dapat diselesaikan tanpa memberi kohormatan kepada satu lagi pihak yang terlibat secara langsung dalam konflik?

 

Rakyat Patani sudah lama menderita di bawah kondisi konflik: lebih lama dari satu dekad. Jumlah korban yang telah meninggal sudah melebihi angka enam ribu. Di samping itu, konflik ini juga telah menghasilkan sekian banyak janda dan anak yatim. Kerosakan harta benda dan dampak terhadap kehidupan sehari-hari tidak perlu ditegaskan lagi. Walau bagaimanapun, apa yang diidam-idamkan oleh rakyat tempatan ialah “Proses Perdamaian Patani” yang menuju kepada kedamaian yang hakiki, yang dapat menghapuskan atau sekurang-kuragnya dapat meminimalkan punca perselisihan yang laihr daripada struktur penindasan dan ketidakadilan, bukan “Proses Pendamaian Patani” yang memaksa kondisi kedamaian sementara yang hanya merupakan gencatan senjata sementara, semata-mata untuk mengangkat nama pemerintah kudeta dan orang tengah.

 

Sebagai seorang penduduk Patani, yang membayar cukai/pajak kepada pemerintah Thai, penulis ingin menyokong sebarang usaha untuk mengadakan kedamaian yang hakiki. Walau bagaimanapun, jika peluang ini dipergunakan untuk kepentingan pihak tertentu dalam bentuk ‘pendamaian’, penulis juga yakin bahwa hasilnya tidak akan memuaskan mana-mana pihak, kecuali pihak yang mengaut keuntungan di sebalik proses ini.

 

Secara peribadi, penulis juga kurang pasti dengan kapasitas pemerintah militer dalam menjalankan proses damai, karna militer atau tentara merupakan satu organisasi yang orang bawahan haram melanggar perintah atasan. Tetapi kini mereka perlu berhadapan dengan orang yang paling ‘degil’ terhadap perintah mereka, yang tidak memperakui legitimasi pemerintahan pemerintah Siam/Thai di buminya sendiri, yang memanggil pemerintahnya sebagai ‘penjajah’.  

 

Di bawah kondisi sedemikian, penyataan pihak pemerintah militer Thailand merupakan petanda yang negatif. Malaysia selaku fasilitator juga perlu bertindak lebih berhati-hati, karna Malaysia belum lagi mendapat mandat sebagai moderator yang usahanya memang ‘mendamaikan pihak yang bersedia untuk berdamai’. Kini statusnya masih fasilitator, iaitu pihak yang perlu berusaha supaya kedua pihak diajak untuk berdamai.

 

Konflik di Patani lahir dari sejarah yang amat lama. Adalah mustahil untuk menyelesaikan konflik ini dalam masa singkat. Oleh itu, semua pihak perlu bersabar, dan tidak seharusnya mencari jalan singkat untuk mencapai tujuan. Titik permulaannya ialah kesungguhan. Jangan berbuat sehingga kesungguhan anda dipersoalkan oleh satu lagi pihak.